Wednesday, May 22, 2013

Resensi Novel Negeri 5 Menara



IDENTITAS BUKU
Judul               : Negeri 5 Menara
Penulis            : A. Fuadi
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit    : 2009
Tebal               : 425 halaman
Ukuran            : 13,4 x 19,9 cm
Harga              : Rp 45.000



RESENSI NOVEL NEGERI 5 MENARA
Novel yang berjudul Negeri 5 Menara menceritakan negara-negara impian Alif (tokoh utama) beserta 5 orang temannya yang mereka utarakan di sebuah menara (tempat favorit mereka di dalam pondok).  Cerita ini berawal saat Alif berada di Washington DC pada bulan Desember 2003 ia menerima pesan dari Atang, salah satu Sahibul Menara yang berasal dari Bandung. Atang mengajak untuk reuni di Trafalgar Square, London minggu depan karena Raja juga berada di London. Setelah mendapat pesan dari Atang, Alif lalu teringat akan masa lalu, masa-masa berada di Pondok Madani bersama para Shahibul Menara.
Alif Fikri adalah seorangyang sangat menginginkan sekolah di SMA Bukittiggi  Sumatera Barat dengan berbekal nilai ujian yang lumayan bagus. Namun, ibunya tidak mengijinkannya. Beliau ingin Alif sekolah di Madrasah Aliyah yang berbasik Agama, karena ibunya  ingin Alif menjadi ustad (Ulama). Lalu, Alif mendapatkan surat dari etek Gindo yang berisi tentang Pondok Madani yang ada di Ponorogo, Jawa Timur serta pendaftaran untuk masuk ke pondok Madani. Dengan setengan hati, Alif memilih untuk bersekolah di Pondok Madani.
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan menjadi santri Pondok Madani yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil ia ingin menjadi “Habibie”. Awal mulanya dia tidak tahu jika ada tes seleksi untuk masuk Pondok Madani karena etek Gindo tidak mencerikakannya lewat surat.Setelah dia dinyatakan lulus seleksi dan menjadi santri Pondok Madani, dia sangat kaget dengan segala peraturan ketat dan kegiatan pondok. Untunglah, dia menemukan sahabat-sahabat yang bernama Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Mereka dijuluki sebagai para “Sahibul Menara” atau “orang yang punya menara” sebutan bagi Alif dan 5 temannya karena seringnya mereka menghabiskan waktu senggangnya di menara Mereka yakin kelak impian itu akan terwujud. Karena mereka yakin akan mantra ampuh yang mereka dapatkan dari Kyai Rais (Guru besar PM), yaitu man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
            Sudah selama 4 tahun mereka belajar di Pondok Madani, Alif beserta teman-temannya sudah banyak berkembang menjadi orang yang lebih baik. Dan suatu ketika, Baso mendapatkan surat yang berisi bahwa neneknya semakin sakit dan tidak bisa bangun lagi dari tempat tidur. Akhirnya Baso memilih untuk pulang agar bisa merawat neneknya dan juga belajar mengahafal Al-Qur’an. Setelah kepulangan Baso, mereka merasa kehilangan saudara di PM. Alif juga teringat akan niatan setengah hatinya dulu, yang akhir-akhir ini muncul lagi. Untuk mencegah Alif pulang, Ayahnya pergi ke PM untuk membujuk Alif, beliau menginap selama 3 hari dan akhirnya misinya selesai.
Akhirnya Ujian pun tiba, ada ujian lisan, tulis dan terakhir ujian peradaban islam. Setelah melaksanakan ujian, Alif, Dulmajid, Said, Atang, dan Raja dapat bersantai-santai di bawah menara, dan bencanda tawa. Setelah 2 minggu  sejak mereka merayakan selesainya ujian, tibalah pengumuman kelulusan dan mereka semua lulus dengan hasil yang baik. Malamnya diadakan Khutbah perpisahan dan berjabat tangan dengan semua warga PM. Keesokan harinya, adalah waktu untuk berpisah, masing-masing Sahibul Menara dipulangkan dengan bus dengan tujuan masing-masing.
Sebelas tahun kemudian, Alif, Raja, dan Atang bertemu lagi di Trafalgar Square, London. Tepatnya di kaki menara dengan empat patung singa tempat mereka berjanji untuk bertemu. Lalu, mereka menginap di apartemen Raja. Ia tinggal berdua dengan Fatia, istrinya yang lulusan pondok khusus putri di Mantingan. Para Sahibul Menara kini tidak berenam lagi. Mereka sudah menikah. Kini Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri di pasar ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid bekerja sama mendirikan sebuah pondok dengan semangat Pondok Madani di Surabaya. Baso kini kuliah di Mekkah dan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan Atang telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadits di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja berkisah kalau ia telah satu tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan kuliah hukum Islam dengan gelar S1 di Madinah. Kini mereka berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian mereka.
            Impian-impian yang besar dapat membuat kita termotivasi untuk berjuang mewujudkan impian itu. Walaupun usaha-usaha yang kita lakukan untuk menggapai impian kita belum berhasil ,  tapi kita jagn menyerah, Allah pasti akan membalas semua usaha-usaha kita dengan hasil yang terbaik untuk kita.
             Penulis ingin mengubah pola pikir kita tentang kehidupan pondok yang hanya belajar agama saja. Karena dalam novel ini selain belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu umum seperti bahasa Inggris Arab, kesenian dll.
            Pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan pernah meremehkan sebuah impian setinggi apapun, karena Allah Maha mendengar do’a dari umatnya. Latar suasana, tempat, maupun waktu sangat jelas, sehingga pembaca dapat lebih berimajinasi. Alur yang ada dalam novel ini adalah alur campuran, sehingga pembaca tidak bosan untuk membacanya
Pada novel ini, tidak digambarkan dengan jelas bagaimana karakter masing-masing tokoh.  Novel ini dapat dibaca oleh kalangan remaja dan dewasa. Karena dalam novel ini terdapat banyak kosakata dan wawasan berbagai macam daerah, sehingga mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah serta dapat memotivasi kita untuk meraih impian kita.










Sinopsis          :
Novel yang berjudul Negeri 5 Menara menceritakan negara-negara impian Alif (tokoh utama) beserta 5 orang temannya yang mereka utarakan di sebuah menara (tempat favorit mereka di dalam pondok).  Cerita ini berawal saat Alif berada di Washington DC pada bulan Desember 2003 ia menerima pesan dari Atang, salah satu Sahibul Menara yang berasal dari Bandung. Atang mengajak untuk reuni di Trafalgar Square, London minggu depan karena Raja juga berada di London. Setelah mendapat pesan dari Atang, Alif lalu teringat akan masa lalu, masa-masa berada di Pondok Madani bersama para Shahibul Menara.
Alif Fikri adalah seorang  yang sangat menginginkan sekolah di SMA Bukittiggi  Sumatera Barat dengan berbekal nilai ujian yang lumayan bagus. Namun, ibunya tidak mengijinkannya. Beliau ingin Alif sekolah di Madrasah Aliyah yang berbasik Agama, karena ibunya  ingin Alif menjadi ustad (Ulama). Lalu, Alif mendapatkan surat dari etek Gindo yang berisi tentang Pondok Madani yang ada di Ponorogo, Jawa Timur serta pendaftaran untuk masuk ke pondok Madani. Dengan setengan hati, Alif memilih untuk bersekolah di Pondok Madani.
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan menjadi santri Pm yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil ia ingin menjadi “Habibie”. Awal mulanya dia tidak tahu jika ada tes seleksi untuk masuk Pondok Madani karena etek Gindo tidak mencerikakannya lewat surat.Setelah dia dinyatakan lulus seleksi dan menjadi santri Pondok Madani, dia sangat kaget dengan segala peraturan ketat dan kegiatan pondok. Untunglah, dia menemukan sahabat-sahabat yang bernama Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Mereka dijuluki sebagai para “Sahibul Menara” atau “orang yang punya menara” sebutan bagi Alif dan 5 temannya karena seringnya mereka menghabiskan waktu senggangnya di menara Mereka yakin kelak impian itu akan terwujud. Karena mereka yakin akan mantra ampuh yang mereka dapatkan dari Kyai Rais (Guru besar PM), yaitu man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
            Sudah selama 4 tahun mereka belajar di Pondok Madani, Alif beserta teman-temannya sudah banyak berkembang menjadi orang yang lebih baik. Dan suatu ketika, Baso mendapatkan surat yang berisi bahwa neneknya semakin sakit dan tidak bisa bangun lagi dari tempat tidur. Akhirnya Baso memilih untuk pulang agar bisa merawat neneknya dan juga belajar mengahafal Al-Qur’an. Setelah kepulangan Baso, mereka merasa kehilangan saudara di PM. Alif juga teringat akan niatan setengah hatinya dulu, yang akhir-akhir ini muncul lagi. Untuk mencegah Alif pulang, Ayahnya pergi ke PM untuk membujuk Alif, beliau menginap selama 3 hari dan akhirnya misinya selesai.
Akhirnya Ujian pun tiba, ada ujian lisan, tulis dan terakhir ujian peradaban islam. Setelah melaksanakan ujian, Alif, Dulmajid, Said, Atang, dan Raja dapat bersantai-santai di bawah menara, dan bencanda tawa. Setelah 2 minggu  sejak mereka merayakan selesainya ujian, tibalah pengumuman kelulusan dan mereka semua lulus dengan hasil yang baik. Malamnya diadakan Khutbah perpisahan dan berjabat tangan dengan semua warga PM. Keesokan harinya, adalah waktu untuk berpisah, masing-masing Sahibul Menara dipulangkan dengan bus dengan tujuan masing-masing.
Sebelas tahun kemudian, Alif, Raja, dan Atang bertemu lagi di Trafalgar Square, London. Tepatnya di kaki menara dengan empat patung singa tempat mereka berjanji untuk bertemu. Lalu, mereka menginap di apartemen Raja. Ia tinggal berdua dengan Fatia, istrinya yang lulusan pondok khusus putri di Mantingan. Para Sahibul Menara kini tidak berenam lagi. Mereka sudah menikah. Kini Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri di pasar ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid bekerja sama mendirikan sebuah pondok dengan semangat Pondok Madani di Surabaya. Baso kini kuliah di Mekkah dan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan Atang telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadits di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja berkisah kalau ia telah satu tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan kuliah hukum Islam dengan gelar S1 di Madinah. Kini mereka berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian mereka. (paragraf 1-6)

Tujuan Resensi          :
 Mengubah pola pikir kita tentang kehidupan pondok yang hanya belajar agama saja. Karena dalam novel ini selain belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu umum seperti bahasa Inggris Arab, kesenian dll. (paragraf 8 )
Tujuan Resensator    :
Impian-impian yang besar dapat membuat kita termotivasi untuk berjuang mewujudkan impian itu. Walaupun usaha-usaha yang kita lakukan untuk menggapai impian kita belum berhasil ,  tapi kita jangan menyerah, Allah pasti akan membalas semua usaha-usaha kita dengan hasil yang terbaik untuk kita. (paragraf 7)
Kelebihan       :
·         Pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan pernah meremehkan sebuah impian setinggi apapun, karena Allah Maha mendengar do’a dari umatnya. (paragraf 9)
·         Alur yang ada dalam novel ini adalah alur campuran, sehingga pembaca tidak bosan untuk membacanya (paragraf 9)
·         Latar suasana, tempat, maupun waktu sangat jelas, sehingga pembaca dapat mengerti dan lebih berimajinasi. (paragraf 9)

Kelemahan     :
·         Pada novel ini, tidak digambarkan dengan jelas bagaimana karakter masing-masing tokoh.  (paragraf 10)
Nilai Buku      :
Novel ini dapat dibaca oleh kalangan remaja dan dewasa. Karena dalam novel ini terdapat banyak kosakata dan wawasan berbagai macam daerah, sehingga mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah serta dapat memotivasi kita untuk meraih impian kita. (paragraf 10)

No comments: