Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah
Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga
tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia
memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin dan ringkasan
anamanya Riam. Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di
sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh
kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya
diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Pada sore hari, Mariamin duduk memandang pohon
beringin di tepi sungai. Akan tetapi pandangannya itu lai, yakni matanya yang
terus menatap kesana tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang itu tidak
terlihat pada matanya karena ada sesuatu yang dipikirkan. Ia sedang memikirkan
Aminuddin yang tak kunjung datang. Saat Aminuddin telah datang, mereka duduk
diatas batu besar. Aminuddin berkata bahwa ia akan pergi ke Deli mencari
pekerjaan. Mendengar hal itu, Mariamin pun menjadi sedih. Saat malam
hari,ketika Mariamin hendak tidur, ia menangis meratapi nasibnya sekarang yang
ditinggal pergi merantau oleh Aminuddin.
Aminuddin adalah anak dari kepala kampung A. Aminuddin
tidak pernah menyombongkan diri. Dia rendah hati, suka menolong orang lain.
Saat hri libur, Aminuddin membantu Mariamin mencangkul sawah Mak Mariamin. Ibu
Aminuddin memberitahu hal itu kepada suaminya Baginda Diatas dan menyarankan untuk menolong Mariamin
mengerjakan sawah, sebab Almarhum Sutan Baringin, Ayah Mariamin adalah kakak
dari ibu Aminuddin sehingga kita sebaiknya menolong saudara kita sendiri.
Mendengar perkataan istrinya, Baginda Diatas teringat akan tabiat mendiang
Sutan Baringin waktu hidup. Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi
bangsawan seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat seka
beperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya ia jatuh miskin.
Sejak dari kecil Mariamin dan Aminu’ddin sudah
bersahabat karib. Mariamin adalah seorang anak gadis yang cantik, baik hati dan
juga penyabar. Aminuddin dan Mariamin setiap pulang dari sekolah selalu
bersama-sama dan begitu pula perginya. Mereka sering membantu orang tua mereka
di sawah, dan tak jarang pula Aminuddin membantu sahabat karibnya ini merumput
padi di sawahnya.
Ketika pada suatu hari, Aminuddin dan Mariamin pulang
dari sawah pada waktu hari sudah senja dan cuaca sedang buruk, hujanpun turun
dengan lebatnya membasahi dua orang sahabat ini. Ketika mereka akan
menyeberangi jembatan di atas sebuah sungai, tiba-tiba Mariamin terjatuh dan
diseret oleh arus sungai yang deras karena banjir. Melihat temannya terjatuh,
Aminuddin tanpa pikir panjang langsung terjun ke sungai untuk menyelamatkan
Mariamin. Setelah lama mencari, barulah dia melihat tubuh Mariamin yang
disinari oleh kilat. Ia pun langsung berenang ke sana dan menyelamatkan
Mariamin lalu membawanya ke sebuah pondok. Sementara ia mencari bantuan ke
kampungnya yang tidak jauh dari tempat itu. Dengan usaha dan pertolongan
orang-orang, Mariamin pun sadar dan air yang terminum di muntahkannya. Setelah
empat belas hari, mariamin akhirnya sembuh dan kembali bersekolah. Semenjak
itulah hubungan kedua sahabat baik ini menjadi semakin dekat dan tanpa disadari
muncullah benih-benih cinta di antara mereka.
Orang tua Sutan Baringin adalah golongan orang kaya di
antara penduduk Sipirok. Orang tuanya hanya mempunyai satu anak laki-laki yaitu
Sutan Baringin. Tohir adalah nama Sutan Baringin waktu kecilnya. Ia bukan anak
yang baik dan penurut kepada orang tua. Ia sering menjadi pokok pertengkaran
orang tuanya. Ayah Sutan Baringin bersikap keras dalam mendidik sutan Baringin
agar Sutan Baringin menjadi anak yang baik di kemudian hari, taoi sikap ini
bertentangan dengan istrinya yang selalu memanjakan Sutan Baringin. Apapun yang
diminta Sutan Baringin selalu dipenuhi. Akibatnya,setelah dewasa ia
tumbuh menjadi seorang pemuda yang angkuh, bertabiat buruk, serta suka
menghambur-hamburkan harta orang tuanya.
Kedua orang tuanya menikahkan Sutan Baringin dengan
Nuria, seorang wanita yang berbudiluhur pilihan ibunya. Namun, kebiasaan buruk
Sutan Baringin tetap dilakukannya sekalipun ia telah berkeluarga. Ia tetap
berfoya-foya menghabiskan harta benda kedua orang tuanya, bahkan ia sering
berjudi dengan Marah Sait, sahabat karibnya. Ketika ayah dan ibunyanya
meninggal, tabiat buruknya semakin menjadi-jadi. Bahkan ia tidak
sungkan-sungkan untuk menghabiskan seluruh harta warisan untuk berjudi.
Akibatnya, hanya dalam waktu sekejap saja, harta warisan yang diperolehnya
terkuras habis. Ia pun jatuh miskin dan memiliki banyak utang. Dari
perkawinannya dengan Nuria, Sutan Baringin mempunyai dua orang anak, yang satu
adalah perempuan bernama Mariamin, sedangkan yang satunya lagi laki-laki.
Mariamin sangat menderita akibat tingkah laku ayahnya. Ia selalu dihina oleh
warga kampung, karena hidupnya sengsara. Cinta kasih perempuan yg berbudi luhur
ini dengan pemuda bernama Aminuddin terhalang oleh dinding kemiskinan
orangtuanya.
Sutan Baringin adalah seorang yang tamak dan rakus
akan harta benda. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang
berbeda nenek, yaitu Baginda Mulia, tapi Sutan Baringin tidak mau membagiya.
Suatu saat ia mendapat kabar, bahwa saudara jauhnya (satu datuk lain nenek)
yaitu Baginda Mulia akan kembali dari perantauannya (Deli). Dalam pikirnya,
saudaranya ini pulang untuk mengambil bagian harta warisan miliknya. Karena
sifatnya yang rakus dan tamak itu, ia pun mencari akal agar Baginda Mulia tidak
mendapatkan bagian warisan tersebut. Bahkan ia sampai membawa perkara tersebut
sampai ke pengadilan. Hal itu dikarenakan ia telah termakan hasutan dan bujuk
rayu temannya sendiri M. Sait yang hanya ingin memanfaatkannya saja. Sutan
bBaringin pun tidak mau mengaku jika ia bersaudara dengan Baginda Mulia.
Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang
akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap
tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua
biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia
adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin
naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara
perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah
Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara
dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih
besar lagi. Setelah perkara tersebut dibawa ke pengadilan, dari pengadilan satu
ke pengadilan yang lain, ternyata Sutan Baringinpun kalah sampai akhirnya
barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia
untuk berdamai. Dan Baginda Mulialah yang berhak atas warisan tersebut. .
Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang diterima Sutan Barigin dan keluarganya
ikut menanggung azab dan sengsara. Setelah kejadian itu, terkena penyakit
sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawanya.
Kehidupan keluarga mereka berubah drastis. Mereka yang dahulunya kaya sekarang menjadi orang yang melarat dan tak punya apa-apa. Mereka sekarang harus menempati rumah yang sangat sederhana di pinggiran sungai. Tidak lama kemudian Sutan Baringinpun pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan duka dan penyesalan bagi keluarganya. Kemeralatan merekapun semakin bertambah. Ibunya, Nuria sering sakit-sakitan. Dan Mariamin pun semakin hari semakin menjadi dewasa, begitu pula dengan sahabatnya, Aminuddin. Mereka brdua telah berkasih-kasihan satu sama lain.
Kehidupan keluarga mereka berubah drastis. Mereka yang dahulunya kaya sekarang menjadi orang yang melarat dan tak punya apa-apa. Mereka sekarang harus menempati rumah yang sangat sederhana di pinggiran sungai. Tidak lama kemudian Sutan Baringinpun pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan duka dan penyesalan bagi keluarganya. Kemeralatan merekapun semakin bertambah. Ibunya, Nuria sering sakit-sakitan. Dan Mariamin pun semakin hari semakin menjadi dewasa, begitu pula dengan sahabatnya, Aminuddin. Mereka brdua telah berkasih-kasihan satu sama lain.
Beranjak dewasa, Aminu’ddin dan Mariamin merasakan
getaran cinta yang kuat. Aminu’ddin berjanji akan menikahi Mariamin. Untuk
mewujudkan niatnya, akhirnya Aminu’ddin berangkat ke Medan untuk mencari kerja.
Saat di Medan, ia masih rajin berkirim kabar dengan Mariamin. Dan suatu saat, Aminuddin
menuliskan surat kepada Mariamin, bahwa ia akan meminta ayahnya untuk melamar
Mariamin. Mariamin sangat senang dengan kedatangan surat dari kekasihnya ini.
Iapun mempersiapkan segala sesuatu keperluan untuk menerima tamu/kedatangan
ayah Aminuddin di rumahnya nanti.
Niatnya ini diutarakan pada ibu dan ayahnya,
Baginda Diatas. Sang ibu setuju sebab ia menganggap Mariamin masih keluarganya
dan dengan menikahkannya dengan Aminu’ddin, ia bisa menolong kemiskinan gadis
itu. Namun, ayah Aminuddin, Baginda Diatas, tidak setuju dg niat anaknya
menikahi Mariamin. Jika pernikahan itu terjadi, dia merasa malu sebab dia
merupakan keluarga terpandang dan kaya-raya, sedangkan keluarga Mariamin hanya
keluarga miskin. Namun, ketidaksetujuannya tsb tidak diperlihatkan kepada istri
dan anaknya.
Ia menyusun rencana agar isterinya
tidak menyetujui keinginan Aminu’ddin. Caranya, Baginda Diatas mengajak
istrinya menemui dukun untuk meminta pertimbangan atas peruntungan anaknya
kelak jika menikah dengan Mariamin. Sang sukun memberikan jawaban bahwa apabila
Aminuddin nanti menikah dengn Mariamin, maka tahun-tahun pertama mereka akan
bahagia dan dikaruniai putra. Tetapi nanti setelah tujuh tahun Aminuddin akan
meninggal/celaka. Mendengar hal itu, maka Ayah dan Ibu Aminuddin segera mencari
gadis lain.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang
gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan
dan kekayaannya. Gadis itu benama Siregar, ia merupakan anak kepala kampung.
Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah
dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan
ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim
telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia
juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun. Betapa gembiranya Aminuddin
setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala
sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera
terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ia
mengira bahwa Mariaminlah yang dibawa oleh ayahnya tersebut. Ternyata, ayahnya
bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar.
Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan
adapt negerinya. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya, dengan
terpaksa Aminuddin menikahi perempuan pilihan ayahnya itu. Perkawinan pun
berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin.
Mariamin tidak mengetahui bahwa Aminuddin telah
menikah, ia pun selalu menunggu ayah Aminuddin untuk melamarnya. Aminuddin
segera memberitahukan kenyataan itu kepada Mariamin. Dan suatu ketika,
datanglah surat dari Aminuddin. Ia sangat mengenal tulisan itu, itu tulisan
kekasihnya, Aminuddin. Betapa hancur dan pedihnya perasaan Mariamin ketika
membaca surat itu. Harapannya musnah sudah. Wajah Mariamin tiba-tiba pucat,
keringat bercucuran, dan akhirnya ia pingsan.Tak lama kemudian, ia jatuh sakit
dan Mariamin semakin ghari semakin kurus.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya,
Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya
tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani
yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan
harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa
menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru
saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. Orang yang akan
menjadi suami Mariaminitu pekerjaannya kerani. Dia tidak muda, raut mukanya
panjang, kurus sedikit, hidungnya pendek dan bibirnya tebal. Cahaya matanya
tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam
tipu daya.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun
rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap
penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan
suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin
berhubungan dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam
kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin
bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan
Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian
itu, secara kebetulan, Aminuddin datng bertandang pada tangal 16, yakni waktu
istirahat bagi orang kebun. Mariamin berdebar-debar dan wajahnya menjadi pucat
karena suara orang yang telah dikenalnya, sehingga di tidak tahu apa yang akan
dia perbuat. Kakinya gemetar, wajahnya makin pucat dan sedih perasaan hatinya
melihat kedatangan Aminuddin yang tak disangka-sangkanya, lalu Mariamin jatuh
pingsan . Ketika dia sadar dan membuka
matanya, ia melihat air mata Aminuddin bercucuran, lalu mereka menangis
tersedu-sedu. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan
senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin
itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, Ia
menampar, memukul dan menyiksa Mariamin sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin
akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi
kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan
hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Setelah resmi bercerai dengan Kasibun, Mariamin
akhirnya kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Namun sayang, ibu dan adiknya
tidak ia temukan disana. Entah kemana perginya mereka. Mariamin pulang ke
kampung halamannya dengan penuh kehancuran. Hancurlah jiwa dan raganya. Di
Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya
Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana
ini. Kesengsaraan dan penderitaan secara batin maupun fisiknya terus mendera
dirinya dari kecil hingga meninggal dunia. Sunggah tragis nasibnya.
No comments:
Post a Comment