Tuesday, January 14, 2014

Sinopsis Azab dan Sengsara



Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin dan ringkasan anamanya Riam. Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Pada sore hari, Mariamin duduk memandang pohon beringin di tepi sungai. Akan tetapi pandangannya itu lai, yakni matanya yang terus menatap kesana tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang itu tidak terlihat pada matanya karena ada sesuatu yang dipikirkan. Ia sedang memikirkan Aminuddin yang tak kunjung datang. Saat Aminuddin telah datang, mereka duduk diatas batu besar. Aminuddin berkata bahwa ia akan pergi ke Deli mencari pekerjaan. Mendengar hal itu, Mariamin pun menjadi sedih. Saat malam hari,ketika Mariamin hendak tidur, ia menangis meratapi nasibnya sekarang yang ditinggal pergi merantau oleh Aminuddin.
Aminuddin adalah anak dari kepala kampung A. Aminuddin tidak pernah menyombongkan diri. Dia rendah hati, suka menolong orang lain. Saat hri libur, Aminuddin membantu Mariamin mencangkul sawah Mak Mariamin. Ibu Aminuddin memberitahu hal itu kepada suaminya Baginda  Diatas dan menyarankan untuk menolong Mariamin mengerjakan sawah, sebab Almarhum Sutan Baringin, Ayah Mariamin adalah kakak dari ibu Aminuddin sehingga kita sebaiknya menolong saudara kita sendiri. Mendengar perkataan istrinya, Baginda Diatas teringat akan tabiat mendiang Sutan Baringin waktu hidup. Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat seka beperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya ia jatuh miskin.
Sejak dari kecil Mariamin dan Aminu’ddin sudah bersahabat karib. Mariamin adalah seorang anak gadis yang cantik, baik hati dan juga penyabar. Aminuddin dan Mariamin setiap pulang dari sekolah selalu bersama-sama dan begitu pula perginya. Mereka sering membantu orang tua mereka di sawah, dan tak jarang pula Aminuddin membantu sahabat karibnya ini merumput padi di sawahnya.
Ketika pada suatu hari, Aminuddin dan Mariamin pulang dari sawah pada waktu hari sudah senja dan cuaca sedang buruk, hujanpun turun dengan lebatnya membasahi dua orang sahabat ini. Ketika mereka akan menyeberangi jembatan di atas sebuah sungai, tiba-tiba Mariamin terjatuh dan diseret oleh arus sungai yang deras karena banjir. Melihat temannya terjatuh, Aminuddin tanpa pikir panjang langsung terjun ke sungai untuk menyelamatkan Mariamin. Setelah lama mencari, barulah dia melihat tubuh Mariamin yang disinari oleh kilat. Ia pun langsung berenang ke sana dan menyelamatkan Mariamin lalu membawanya ke sebuah pondok. Sementara ia mencari bantuan ke kampungnya yang tidak jauh dari tempat itu. Dengan usaha dan pertolongan orang-orang, Mariamin pun sadar dan air yang terminum di muntahkannya. Setelah empat belas hari, mariamin akhirnya sembuh dan kembali bersekolah. Semenjak itulah hubungan kedua sahabat baik ini menjadi semakin dekat dan tanpa disadari muncullah benih-benih cinta di antara mereka.
Orang tua Sutan Baringin adalah golongan orang kaya di antara penduduk Sipirok. Orang tuanya hanya mempunyai satu anak laki-laki yaitu Sutan Baringin. Tohir adalah nama Sutan Baringin waktu kecilnya. Ia bukan anak yang baik dan penurut kepada orang tua. Ia sering menjadi pokok pertengkaran orang tuanya. Ayah Sutan Baringin bersikap keras dalam mendidik sutan Baringin agar Sutan Baringin menjadi anak yang baik di kemudian hari, taoi sikap ini bertentangan dengan istrinya yang selalu memanjakan Sutan Baringin. Apapun yang diminta Sutan Baringin  selalu dipenuhi. Akibatnya,setelah dewasa ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang angkuh, bertabiat buruk, serta suka menghambur-hamburkan harta orang tuanya.
Kedua orang tuanya menikahkan Sutan Baringin dengan Nuria, seorang wanita yang berbudiluhur pilihan ibunya. Namun, kebiasaan buruk Sutan Baringin tetap dilakukannya sekalipun ia telah berkeluarga. Ia tetap berfoya-foya menghabiskan harta benda kedua orang tuanya, bahkan ia sering berjudi dengan Marah Sait, sahabat karibnya. Ketika ayah dan ibunyanya meninggal, tabiat buruknya semakin menjadi-jadi. Bahkan ia tidak sungkan-sungkan untuk menghabiskan seluruh harta warisan untuk berjudi. Akibatnya, hanya dalam waktu sekejap saja, harta warisan yang diperolehnya terkuras habis. Ia pun jatuh miskin dan memiliki banyak utang. Dari perkawinannya dengan Nuria, Sutan Baringin mempunyai dua orang anak, yang satu adalah perempuan bernama Mariamin, sedangkan yang satunya lagi laki-laki. Mariamin sangat menderita akibat tingkah laku ayahnya. Ia selalu dihina oleh warga kampung, karena hidupnya sengsara. Cinta kasih perempuan yg berbudi luhur ini dengan pemuda bernama Aminuddin terhalang oleh dinding kemiskinan orangtuanya.
Sutan Baringin adalah seorang yang tamak dan rakus akan harta benda. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek, yaitu Baginda Mulia, tapi Sutan Baringin tidak mau membagiya. Suatu saat ia mendapat kabar, bahwa saudara jauhnya (satu datuk lain nenek) yaitu Baginda Mulia akan kembali dari perantauannya (Deli). Dalam pikirnya, saudaranya ini pulang untuk mengambil bagian harta warisan miliknya. Karena sifatnya yang rakus dan tamak itu, ia pun mencari akal agar Baginda Mulia tidak mendapatkan bagian warisan tersebut. Bahkan ia sampai membawa perkara tersebut sampai ke pengadilan. Hal itu dikarenakan ia telah termakan hasutan dan bujuk rayu temannya sendiri M. Sait yang hanya ingin memanfaatkannya saja. Sutan bBaringin pun tidak mau mengaku jika ia bersaudara dengan Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Setelah perkara tersebut dibawa ke pengadilan, dari pengadilan satu ke pengadilan yang lain, ternyata Sutan Baringinpun kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Dan Baginda Mulialah yang berhak atas warisan tersebut. . Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang diterima Sutan Barigin dan keluarganya ikut menanggung azab dan sengsara. Setelah kejadian itu, terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawanya.
Kehidupan keluarga mereka berubah drastis. Mereka yang dahulunya kaya sekarang menjadi orang yang melarat dan tak punya apa-apa. Mereka sekarang harus menempati rumah yang sangat sederhana di pinggiran sungai. Tidak lama kemudian Sutan Baringinpun pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan duka dan penyesalan bagi keluarganya. Kemeralatan merekapun semakin bertambah. Ibunya, Nuria sering sakit-sakitan. Dan Mariamin pun semakin hari semakin menjadi dewasa, begitu pula dengan sahabatnya, Aminuddin. Mereka brdua telah berkasih-kasihan satu sama lain.
Beranjak dewasa, Aminu’ddin dan Mariamin merasakan getaran cinta yang kuat. Aminu’ddin berjanji akan menikahi Mariamin. Untuk mewujudkan niatnya, akhirnya Aminu’ddin berangkat ke Medan untuk mencari kerja. Saat di Medan, ia masih rajin berkirim kabar dengan Mariamin. Dan suatu saat, Aminuddin menuliskan surat kepada Mariamin, bahwa ia akan meminta ayahnya untuk melamar Mariamin. Mariamin sangat senang dengan kedatangan surat dari kekasihnya ini. Iapun mempersiapkan segala sesuatu keperluan untuk menerima tamu/kedatangan ayah Aminuddin di rumahnya nanti.
 Niatnya ini diutarakan pada ibu dan ayahnya, Baginda Diatas. Sang ibu setuju sebab ia menganggap Mariamin masih keluarganya dan dengan menikahkannya dengan Aminu’ddin, ia bisa menolong kemiskinan gadis itu. Namun, ayah Aminuddin, Baginda Diatas, tidak setuju dg niat anaknya menikahi Mariamin. Jika pernikahan itu terjadi, dia merasa malu sebab dia merupakan keluarga terpandang dan kaya-raya, sedangkan keluarga Mariamin hanya keluarga miskin. Namun, ketidaksetujuannya tsb tidak diperlihatkan kepada istri dan anaknya.
Ia menyusun rencana agar isterinya tidak menyetujui keinginan Aminu’ddin. Caranya, Baginda Diatas mengajak istrinya menemui dukun untuk meminta pertimbangan atas peruntungan anaknya kelak jika menikah dengan Mariamin. Sang sukun memberikan jawaban bahwa apabila Aminuddin nanti menikah dengn Mariamin, maka tahun-tahun pertama mereka akan bahagia dan dikaruniai putra. Tetapi nanti setelah tujuh tahun Aminuddin akan meninggal/celaka. Mendengar hal itu, maka Ayah dan Ibu Aminuddin segera mencari gadis lain.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Gadis itu benama Siregar, ia merupakan anak kepala kampung. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun. Betapa gembiranya Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ia mengira bahwa Mariaminlah yang dibawa oleh ayahnya tersebut. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya, dengan terpaksa Aminuddin menikahi perempuan pilihan ayahnya itu. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin.
Mariamin tidak mengetahui bahwa Aminuddin telah menikah, ia pun selalu menunggu ayah Aminuddin untuk melamarnya. Aminuddin segera memberitahukan kenyataan itu kepada Mariamin. Dan suatu ketika, datanglah surat dari Aminuddin. Ia sangat mengenal tulisan itu, itu tulisan kekasihnya, Aminuddin. Betapa hancur dan pedihnya perasaan Mariamin ketika membaca surat itu. Harapannya musnah sudah. Wajah Mariamin tiba-tiba pucat, keringat bercucuran, dan akhirnya ia pingsan.Tak lama kemudian, ia jatuh sakit dan Mariamin semakin ghari semakin kurus.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin. Orang yang akan menjadi suami Mariaminitu pekerjaannya kerani. Dia tidak muda, raut mukanya panjang, kurus sedikit, hidungnya pendek dan bibirnya tebal. Cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam tipu daya.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin datng bertandang pada tangal 16, yakni waktu istirahat bagi orang kebun. Mariamin berdebar-debar dan wajahnya menjadi pucat karena suara orang yang telah dikenalnya, sehingga di tidak tahu apa yang akan dia perbuat. Kakinya gemetar, wajahnya makin pucat dan sedih perasaan hatinya melihat kedatangan Aminuddin yang tak disangka-sangkanya, lalu Mariamin jatuh pingsan . Ketika dia sadar dan  membuka matanya, ia melihat air mata Aminuddin bercucuran, lalu mereka menangis tersedu-sedu. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, Ia menampar, memukul dan menyiksa Mariamin sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Setelah resmi bercerai dengan Kasibun, Mariamin akhirnya kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Namun sayang, ibu dan adiknya tidak ia temukan disana. Entah kemana perginya mereka. Mariamin pulang ke kampung halamannya dengan penuh kehancuran. Hancurlah jiwa dan raganya. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini. Kesengsaraan dan penderitaan secara batin maupun fisiknya terus mendera dirinya dari kecil hingga meninggal dunia. Sunggah tragis nasibnya.

No comments: